Senin, 26 Oktober 2009



TERSENYUM
Cerpen By
Irvant Noordint





Aku suka tersenyum. Di manapun aku selalu tersenyum. Bagiku tersenyum
adalah cermin jiwa yang optimis. Ketika menghadapi kondisi apapun aku
berusaha untuk tersenyum. Tidak pernah aku menangis.


Aku pernah kehilangan satu tungkai kakiku karena kecelakaan. Waktu itu
amputasi bukanlah menjadi pilihan. Ia malah menjadi keharusan karena
lukaku tidak dapat disembuhkan. Dan aku tetap memilih untuk tersenyum.
Bukankah aku masih punya satu kaki lagi? Aku pun bisa mengganti kaki
kiriku itu dengan menggunakan kruk. Tapi hanya satu tahun aku
menggunakannya. Kini aku telah menggunakan kaki palsu.

Kamis, 22 Oktober 2009

Gempa lagi gempa lagi..!!!


Oleh Vien Muhadi

Gempa lagi gempa lagi..! !!
Belum lagi trauma gempa yang terjadi di Yogya dan gempa yang mengakibatkan gelombang tsunami raksasa di Aceh pada tahun 2005 hingga menyebabkan hilangnya nyawa ratusan ribu orang, gempa kembali terjadi susul menyusul di bumi kita tercinta, Indonesia. Di Padang, di Kuningan, di Sulawesi dan ntah dimana lagi selanjutnya. Mengapa kita harus terus menerus dalam duka nasional yang begitu mendalam ? Ada apakah ini sebenarnya? Dan apa pula hikmah dibalik semua ini?

Harus disadari bahwa Indonesia adalah negara yang rawan gempa. Karena tanah air kita ini selain memang terletak di pertemuan dua gugusan pegunungan api aktif dunia juga terletak di atas pertemuan patahan lempeng bumi. Sementara itu perubahan iklim yang ekstrim akibat pemanasan global juga menjadi salah satu penyebab mengapa Indonesia demikian rawannya terhadap bencana alam. Gempa bumi, gunung meletus, tsunami adalah satu diantaranya.

Rabu, 14 Oktober 2009

Catatanku ke-2


Hari itu aku telah melihat semuanya, hari yang tidak akan mudah untuk dibuang dari otakku. Sekarang tidak ada lagi siulan burung-burung yang bertengger di dahan dekat rumahku, tidak ada lagi derikan serangga-serangga yang selalu membuat betah telinga untuk terus mendengar.

Biasanya di kala senja aku asyik melihat anak lelakiku bermain kelereng dengan sekumpulan anak seusianya, saat itu dia masih berumur 6 tahun. Di kala anakku sedang bermain, aku tak jenuh memandanginya sambil menghirup udara sejuk yang menyentuh setiap rentangan tubuhku. Walaupun duduk di atas dipan bambu, aku tetap nyaman dengan ditemani rebusan singkong buatan istriku. Sore-sore begini ia akan menghabiskan waktunya di dapur, menyiapkan pangan yang dimasak beserta lauk pauknya.

Aba, aku kalah. aku ingin main lagi tapi kelerengnya habis…”

Selasa, 13 Oktober 2009

Ketika Cinta Berpendar



“Copet…!!”, mendadak suasana dalam bus menjadi riuh. Ibu itu berdiri gemetaran tepat ditengah sambil berdesakan satu sama lain. Semua mata menatap lekat pada si ibu, keringat mengucur didahi si ibu. Mengalir deras seperti air bah yang tumpah tidak terduga.

“Tolong pak, tolong ‘de. Kejar pencopet itu…”, teriaknya pada penumpang lain yang ada didekatnya. Laju bus semakin pelan, dua orang loncat dari bus begitu saja. Maraton, mengikuti si pencopet.

Hingar bingar suara semua penumpang membuat si ibu tidak tahan ingin dompetnya cepat kembali. Badannya yang overweight menambah gerahnya suasana dalam bus. Dua perempuan dipojok kiri asyik berbisik-bisik memperbincangkan pencopetan itu sambil duduk bersandar, mata-matanya sesekali mengerling pada si ibu.

Senin, 12 Oktober 2009

Catatanku


Hari ini desaku senyap, sunyi tanpa ada rutinitas seperti biasanya. Bukit-bukit yang tadinya hijau terhampar, drastis menjadi lautan lumpur merah. Desaku persis berada di antara bukit-bukit itu. Desaku memang jauh dari pusat kota, apabila ada seseorang yang ingin mengunjungi desaku, ia harus menempuh perjalanan sekitar tiga hingga empat jam. Hutan yang masih asli akan menemani sepanjang perjalanan menuju desa, sungai-sungai mengalir jernih di sepanjang jalan yang bertanah merah menuju desaku. Sejuk, itu yang aku hirup setiap hari di desaku. Telingaku tidak pernah melewatkan serangga-serangga berderik-derik di kala siang menjelang.

Dadaku terasa sesak jika aku mengingat hari dimana semua orang berteriak histeris, berhamburan tanpa arah dari rumah-rumah mereka. Ada yang mengurai airmata sambil mendekap sang balita. Adapula yang kebingungan mencari-cari keluarga mereka untuk berlari sejauh mungkin dari atap yang akan menimpa mereka. Saat itu desaku diguyur hujan, desaku semakin mencekam.