“Copet…!!”, mendadak suasana dalam bus menjadi riuh. Ibu itu berdiri gemetaran tepat ditengah sambil berdesakan satu sama lain. Semua mata menatap lekat pada si ibu, keringat mengucur didahi si ibu. Mengalir deras seperti air bah yang tumpah tidak terduga.
“Tolong pak, tolong ‘de. Kejar pencopet itu…”, teriaknya pada penumpang lain yang ada didekatnya. Laju bus semakin pelan, dua orang loncat dari bus begitu saja. Maraton, mengikuti si pencopet.
Hingar bingar suara semua penumpang membuat si ibu tidak tahan ingin dompetnya cepat kembali. Badannya yang overweight menambah gerahnya suasana dalam bus. Dua perempuan dipojok kiri asyik berbisik-bisik memperbincangkan pencopetan itu sambil duduk bersandar, mata-matanya sesekali mengerling pada si ibu.
“Bu, uangnya ada di dompet semua?”, tanya salah satu penumpang disampingnya. “Iya, ‘de. Uang ibu dan kartu ATM ada dalam dompet, bingung ibu harus gimana…”, suaranya keras dengan nada putus asa.
“Tenang saja bu, mungkin pencopetnya belum jauh dan mudah-mudahan dompet ibu bisa kembali. Sekarang ibu duduk disamping saya saja, tenangkan diri ibu dulu ya…”. Dia mengeluarkan sebotol air mineral dari dalam tasnya, memberikannya pada si ibu. Sejenak suasana hati si ibu meleleh, terkendali. Terpaan angin mnyelinap dari jendela kaca yang terbuka, menghembuskan sejuk pada setiap ruas tubuhnya yang berpeluh.
“Nama ade’ siapa? Terima kasih sudah mau bantu ibu…”, tanyanya halus.
“Sama-sama, bu. Saya Laras!” Jawabnya pelan.
“Habis dari sekolah ya. Sekolah dimana? Ibu lihat, kamu sendirian saja dari tadi. Apa tidak ada teman sekolah yang pulangnya searah dengan kamu?!”, tanya si ibu bertubi-tubi.
“Oh, itu…”, dia terdiam. Bibirnya terkatup rapat, seakan sulit melanjutkan kata-katanya. Wajahnya muram.
“Kenapa? Mungkin pertanyaan ibu membuatmu risih ya. Sudah, tidak usah dijawab. Tidak apa-apa. Lupakan saja…”
“Tidak bu. Aku hanya merasa sedih saja. Aku sudah terbiasa sendirian.” Ucapnya pelan, hampir saja air mata meleleh dari pelipis matanya. Dadanya bergemuruh, tumpahan bulir air mata tertahan dan menyisakan sedikit lubang dihatinya. Tatapannya sendu, menerawang tanpa mempedulikan si ibu disampingnya.
Dirinya masih tidak ikhlas jika seseorang yang disayanginya hilang begitu saja dari rengkuhannya. Masih membekas dan menoreh luka yang cukup lebar dihatinya. “Laras, maafkan aku. Aku tahu, aku salah. Tapi kita tidak bisa terus melanjutkan hubungan ini. Sekali lagi aku minta maaf…”, kata-kata itu masih terngiang, memenuhi otaknya. Menggurat pedih.
“De’ Laras, kenapa? Dari tadi ibu heran lihat kamu…”
“Oh ya, maaf. Ibu bicara dengan saya?”, suaranya parau. Agak terperanjat ia menjawab, bayangan-bayangan masa lalu berhamburan, berlarian dari pikirannya saat si ibu mencoba menepuk pundaknya.
“Iya sama kamu! De’ Laras melamun ya? Tidak boleh itu, apalagi kamu masih muda.
Tidak baik lho..”, senyum si ibu melebar berusaha membuat Laras ikut tersenyum.
Tatapannya begitu teduh, Laras tidak dapat menyembunyikan rasa nyaman yang diperoleh dari si ibu. Dan bibirnya melepas senyum.
Laras mulai menyadari bahwa apapun masalah yang menimpanya tidak berarti ia harus terus menyendiri dan tertutup pada setiap orang. Kemarahaan tidak akan menyelesaikan suatu masalah. Setidaknya dia harus sedikit membuka diri.
Benarkah?! Kata hatinya yang lain bersuara.
Benar! Kamu harus tahu itu! Hatinya yang paling dalam angkat bicara. Seolah membenarkan apa yang dia pikirkan diotaknya. Hatinya bergejolak, berdebat satu sama lain.
Ia masih ingat saat itu Ane memberinya selembar kertas berisi pesan bahwa ia diminta Adi untuk menemuinya didekat kolam belakang sekolah. Hati laras berbunga-bunga saat membaca surat itu, dadanya berdegup kencang hingga tidak tahu apa yang harus tergambar dironanya. Takut, sedih atau bahagia? Ia tidak tahu.
“Kamu yakin Ane, ini pesan dari Adi?”, bibirnya gemetar dan lidahnya terasa kelu. Ia menatap lekat wajah sahabatnya itu.
“Seratus persen asli dari Adi!”, goda sahabatnya itu.
“Ane, terima kasih. Aku pasti datang…”, tandasnya.
Pertemuan itu merupakan pertemuan pertama Laras dengan Adi yang membuat Laras yakin untuk mengukuhkan pilihan hatinya jatuh pada Adi, hingga itu merupakan awal pertemuan yang membuahkan pertemuan-pertemuan selanjutnya.
“Terima kasih, kamu mau datang. Aku tidak bermaksud apa-apa, hanya ingin melihat kamu dari dekat saja…”, ungkap Adi. Bibirnya pasi, tidak tahu apakah kata-katanya tepat atau tidak untuk mengawali perbincangan. Keduanya berdiri menatap kolam dengan airnya yang bening, berkilauan ketika sinar matahari jatuh tepat ke dasar kolam dan memantul. Ikan-ikan bergumul dibalik batu-batu hitam buatan, lalu berhamburan kesetiap sudut kolam. Warna putih becampur jingga membias dipermukaan air.
“Tidak lebih dari yang kamu pikirkan, aku datang hanya sebatas memenuhi permintaan surat itu. Kamu tahu? Sebaiknya jangan ada dulu perasaan cinta diantara kita, menjadi sahabat itu lebih baik untuk mengenal lebih jauh kondisi masing-masing”.
“Maksud kamu?”, tanya Adi menekan. Sejenak keduanya saling diam. Tak ada kata lagi meluncur dari mulut mereka, riakan daun yang tersapu angin menambah kebisuan.
Hembusan angin membisikan sesuatu ketelinganya, seolah memberitahunya untuk tidak bicara apapun lagi pada Adi. “Baik, kalau kamu inginnya seperti itu! Aku terima. Sampai ketemu besok…”. Adi bergeming, berbalik. Meninggalkan Laras sendiri tanpa memandangnya lagi. Pusaran angin kecil menemani Laras, mematung, memandang jenuh pada kolam.
Siluet merah hampir memayungi langit, diufuk barat mulai terlihat matahari membenamkan diri. Dibalik jendela bus yang Laras tumpangi, terlihat remang-remang kota perlahan menampakan diri, bergeliat terang setelah beristirahat sejak tadi pagi. Ke atap langit, kedua matanya tengah asyik menyaksikan burung-burung beringkih melebarkan sayap hendak kembali ke sarangnya. Ia tidak pernah menyangka hari ini terjadi pencopetan didepan matanya.
“Bu, alhamdulillah ya. Akhirnya dompet ibu kembali…”
“Iya de’ Laras. Ibu bersyukur, pencopet itu berhasil ditangkap dan langsung digelandang ke kantor polisi. Sayang, padahal masih muda tapi kok malah nyopet. Kan masih kuat untuk bekerja dengan halal.” Lirihnya.
“Memangnya ibu sempat lihat rupa pencopet itu?” tanya Laras sambil menggigit bibirnya pelan.
“Iya, yang ibu lihat sih lumayan cakep mukanya, badannya tidak kurus dan tidak juga gemuk, ya sedang-sedang gitu. Oh iya, kulitnya putih sawo matang. Tingginya kira-kira 170-an. Apa de’ Laras tidak lihat rupa pencopet itu?”
“Sekilas saja, tidak sempat memerhatikan rupa pencopet itu!” ucapnya sesal. Ia merasakan adanya kemiripan ciri-ciri dari pencopet itu dengan seseorang, tidak asing terdengar ditelinganya. Tergambar jelas apa yang ibu itu utarakan. Tapi mirip dengan siapa? Aku tidak tahu pasti! Bisiknya dalam hati. Ia berpikir keras.
Tidak lama bus sudah berada didepan jalan kecil menuju rumahnya. Ia pamit pada ibu itu, beharap nanti bisa bertemu lagi lain waktu. Laras beringsut turun setelah ibu itu memberikannya selembar kertas kecil berisi sebuah alamat dimana ibu itu tinggal.
“Assalamu ‘alaikum bu, Insya Allah saya datang kerumah ibu…”
“Iya, ibu tunggu ya. Salam buat kedua orangtuamu.”. Tangannya melambai dari balik jendela, memandangi Laras dengan senyum lebar. Hingga matanya tidak menemukan Laras lagi diujung jalan sana.
Di ruangan ini, dia mendengar suara toots keyboard menghentak-hentak. Layar monitor menampakan sederet tulisan berjejer rapi. Gumaman orang-orang disekitar ikut membahana, setiap sudut ruangan penuh dengan lemari-lemari arsip dan meja-meja serta kursi-kursi merapat dengan rapi dipenuhi lembaran-lembaran kertas bertinta.
Tatapannya kaku, orang yang mengajak bicara padanya seolah tidak ada dihadapannya.
“Tolong sebutkan nama lengkap kamu?” suara itu terdengar berat. Bass memantapkan suara itu.
“Saya, ehm..,saya…”, ucap dia terbata-bata.
“Iya, Kamu!” Nadanya menekan.
“Saya Rahadi Kesuma.”. Toots keyboard dengan cepat menuliskan namanya ke layar monitor, sederet pertanyaan meluncur satu-persatu dari mulut yang bersuara bass itu. Selain suaranya berat, ia terlihat berwibawa mengenakan seragam khas dengan pangkat dibahunya. Kumisnya yang hitam tebal bertengger dibawah hidungnya yang besar. Jadi terlihat seram jika kedua matanya membulat, melototi wajah yang sedang dia ajak bicara.
“Berapa kali kamu melakukan ini? Dan kamu masih sekolah? Keluarga kamu masih ada? Jika ada, silahkan hubungi keluarga kamu”. Tanyanya bertubi-tubi, sambil jari-jarinya tengah asyik menari-nari diatas keyboard. Sedangkan pandangannya fokus ke layar monitor.
“Baru kali ini, saya masih sekolah kelas 3 SMA dan keluarga saya masih ada tapi saya tidak yakin mereka ada dirumah“. Nadanya datar.
“Baik, nanti biar kami yang menghubungi keluarga kamu! Dan sekarang untuk sementara, kami masukan kamu ke ruang tahanan disini”. Kedua mata Rahadi sontak membelalak, terkejut. Ia sedikit meronta saat borgol itu mengikat kedua tangannya. Sementara kedua petugas meamaksanya dan menggandengnya ke balik jeruji.
Beberapa jam ia meringkuk disudut sel berjeruji besi. Matanya sembab, air matanya sempat meleleh dan membasahi kedua pipinya. Dinding-dinding putih dengan ornamen-ornamen yang tidak jelas membuatkan udara tidak begitu segar, dingin menyentuh setiap aliran darahnya menjadikan sedikit beku.
Tidak lama matanya mendapati seseorang persis berdiri dihadapannya dari luar jeruji besi. Oh, akhirnya mama datang juga!! Bisiknya dengan sumringah. Kedua tangan ibunya terbuka lebar hendak memeluknya, tapi jeruji besi menahannya untuk menghempaskan diri kepelukan hangat seorang ibu. Dadanya bergemuruh, sesak memenuhi rongga dadanya. Tangis membuncah diantara keduanya seakan telah lama tidak bertemu satu sama lain.
“Ma, tolong Adi. Aku ingin keluar dari sini.” Pintanya tersendat-sendat.
“Baik, sayang. Mama akan segera mnegeluarkanmu dari sini. Tapi kenapa kamu mencopet?
Apa kamu kekurangan uang, heh?”, suaranya meninggi.
“Maafkan Adi, ma. Aku hanya ingin menunjukan pada papa dan mama kalau aku juga depresi dengan kondisi papa dan mama. Aku tidak setuju kalau aku harus kehilangan keluraga yang utuh!” tandasnya. Mukanya merah padam dengan lelehan air mata dipelipis matanya. Ia memegang kuat jeruji besi itu sambil melipatkan kedua kakinya, mengais.
“Mama tidak suka caramu itu! Memangnya kamu mau kalau mama terus tersiksa sepanjang hidup mama?”, nadanya naik beberapa oktaf. Tidak henti-hentinya air mata bergulir membentuk kristal-kristal kecil. Dan rongganya terasa sesak. Awan kelabu menghinggapi beberapa lamanya, suara-suara histeris membahana membelai ruang tahanan.
“Tapi, ma…”, suaranya terputus.
“Sudahlah, sayang. Sudah cukup, tolong jangan dibahas lagi. Yang penting sekarang, kamu harus cepat keluar dari sini. Ini pengacara, dia teman mama juga. Dia akan bantu mengeluarkan kamu.”
“Ma, terima kasih. Aku sangat bahagia. Aku janji tidak akan mengulangi ini lagi, ma”. Senyum bertengger dibibirnya, ia lekas mengusap kedua pipinya yang basah. Matanya terlihat memerah. Senyum itupun berkembang dirona ibunya, menatap teduh padanya.
Sudah dua minggu ia hidup mengambang, pikirannya terus bergelayutan mengkhayal bahwa Adi ada bersamanya. Langit-langit kamar seakan terlihat suram dengan temaram yang kian ia pandang malah kian menggelap. Tubuhnya yang semampai telentang asyik memandangi langit kamar dengan dibalut kain berberenda bunga disetiap ujungnya.
Diluar, malam merayap pelan dengan suara-suara serangga malam saling berirama menyatu dalam satu nyanyian seakan sedang merayakan dewi malam yang bersinar terang dan indah memayungi dinding-dinding langit. Angin meliuk-liuk kecil menyentuh setiap helai dedaunan, rumput-rumput pun ikut menari-nari merayakan bersama serangga-serangga malam.
“Laras, tidak kah kamu tergoda dengan keindahan kami?” Angin berhembus menyelinap dari jendela, merayapi gendang telinganya.
”Kamu bicara padaku?!” pikirannya berimajinasi.
”Iya, kami bersama selalu menyanyikan lagu indah untuknya....”
”Maaf, aku memang tergoda. Tapi apakah aku manusia boleh berbaur dengan kalian?” Angin berhembus kembali.
”Tentu dengan senang hati. Kami tidak pernah melewatkan malam-malam yang indah bersamanya, bahkan kami saling mengikat janji untuk tidak berpisah satu sama lain...”, rumput-rumput menari-nari kembali menyuarakan gemirisik.
”Benarkah? Aku ingin seperti kalian yang saling mengikat janji, tapi...”, suaranya melemah.
”Kenapa?” serangga-serangga melepas nyanyiannya lagi. Tapi kali ini nyanyian itu mendayu-dayu tak berarah, semakin mengecil.
”Kalian mau tahu?” ucapnya pelan. Sejenak tidak ada jawaban, hanya angin mengelus-ngelus telinganya. Kemudian Laras mengulang pertanyaannya lagi, tapi hanya ada suara gemerisik yang ia dengar. Sekali lagi ia mengulangnya. Tapi tidak ada lagi yang didengar. Ia lantas berteriak, menyeruak dikeheningan malam. Hampir lelah tenggorokannya, lalu ia menyerah.
Dan nyanyian itu perlahan-lahan hilang ditelan malam, melarut dalam waktu yang merambat. Hingga mimpi itu berada dekat. Sekejap ia berpindah, tengah berada di jalan yang kosong melompong. Matanya menyisir sekeliling, semuanya hanya rumput liar yang kehausan air. Dimana aku?? Hatinya berkelumit resah. Dahinya mengernyit. Ia berdiri tegak tepat ditengah.
Dari arah yang berlawanan, sekejap sebuah kijang hitam menghempaskannya dari jalanan, terpental keras hingga kepalanya penuh percikan darah. Ia tergolek lemah. Samar-samar matanya menangkap seseorang berdiri tepat dihadapannya, lalu hilang. Gelap.
”Laras, ini terakhir kalinya kita bertemu. Keluargaku hancur, tidak mungkin bisa kembali seperti biasa. Kamu mengerti kan?”, suara itu mengelebat. Berulang-ulang terdengar, membias di telinga.
Apapun yang ia tatap terlihat membagi dua bahkan kadang membagi tiga, matanya tidak fokus pada setiap objek disekitarnya. Ia tidak merasakan lagi tubuhnya. Sementara telinganya mendengar hembusan suara terkekeh-kekeh nyinyir, terasa menyengat ulu hatinya.
”Kamu...siapa?” suaranya parau, susah payah bibirnya berucap. Suara itu tetap terdengar terkekeh-kekeh. Tidak jauh darinya seseorang berdiri kaku. Matanya menatap tajam. Perlahan ia mendekati Laras, hentakan kakinya hampir tidak terdengar.
Bau anyir menohok hidungnya, ia sudah seperti sampah-sampah yang berserakan. Sementara pandangannya masih mengabur. Peluh bercampur darah memenuhi sekujur tubuhnya. Nafasnya tidak beraturan. Ia tidak sempat lagi memikirkan siapa yang berdiri didekatnya.
”Akhirnya tiba waktunya bagi kamu, Laras!” suara itu terdengar puas, membahana.
”Kamu mau tahu siapa aku?” Lanjutnya.
Laras diam, mulutnya terkatup rapat. ”Aku tahu, Laras. Kamu takut bukan?” Orang itu menyeringai. Kini Laras merasakan dadanya berdegup cepat, keringat dingin membanjiri seluruh tubuhnya. Sementara orang itu kini mencari-cari sesuatu disekelilingnya, matanya menyapu ke setiap objek.
Tidak jauh ia berdiri rerumputan mentupi sebilah pisau kecil, ujungnya menipis dan mengkilap. Tidak lama, pisau itu telah berpindah ke tangannya. Gemggamannya begitu erat hingga urat-urat disekitar jemarinya merentang kuat. Ia perlahan mendekati Laras, langkahnya lebar. Matanya mendelik.
”Apa yang mau kamu lakukan, heh?!” Laras mencoba bergeliat, ia berusaha menyeret tubuhnya.
”Kamu tidak akan bisa menjauh dariku, Laras! Apa yang kamu lakukan itu sia-sia...”, mulutnya terbuka lebar. Kemudian ia tertawa renyah. Tawanya terasa seperti lolongan dikegelapan dibawah sinar bulan penuh.
Laras bergidik, udara dingin berhembus membelai pundaknya. Sementara tak ada suara apapun kecuali tawa yang memanjang. Bintang-bintang bersembunyi dibalik awan, hanya bulan yang bertahan ditempatnya. Tak ada yang menerangi tempat ini selain sinar yang berpendar dari bulan.
Dari kejauhan suara-suara serangga malam berirama kembali, melengking di luasnya padang rumput. Angin ikut menyebarkan nyanyian itu, meliuk-liuk kecil menyentuh dedaunan hingga rumput-rumputpun tak lupa ikut menari-nari. Tanpa menunggu waktu, nyanyian itu semakin meluas terdengar menyambut kedatangan Laras dengan tubunya yang berpendar.
”Laras, maafkan aku...”, tubuhnya ambruk. Matanya sembab. Ia tersungkur ditanah yang berumput seketika. Ia baru sadar bahwa apa yang ada dipangkuannya kini bukan lagi miliknya. Bukan lagi milik seorang Rahadi Kesuma. Aku tidak pantas untukmu!! Umpatnya.
Fan septa febrian
10 Ramadhan 1430 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
kunjungi selalu http://dindingmenulisonline-getaufan.blogspot.com