Rabu, 17 Februari 2010

De'

Oleh : fan febrian

Suatu saat aku bisa mewujudkan keinginanku. Aku telah lama memendam cita-cita di benakku yang paling dalam. Sepertinya aku mulai lupa dengan segala yang telah kupegang dalam hidupku selama ini, hingga mengantarkanku pada tempat mungil dan sumpek ini.

Aku masih memegang dan menyoroti dokumen ini.

“Tuhan, aku menyerah! Aku capek dengan segala ketentuanMu itu…“ Aku geram. Gigiku bergemelutuk. Tanganku mengepal, hampir aku meninju cermin di hadapanku.

Dokumen ini hampir kurobek menjadi potongan-potongan kecil. Tapi aku sadar! Tak ada gunanya.

Sekarang dokumennya terlempar dan berserakan di ujung teras.

Senja mulai menyoroti kamarku, menelan patah arangku. Membiarkanku terkulai lemah di bibir ranjang.

***

“Bangun ‘de, nanti kamu terlambat ke kampus lho… “ Kilahnya sambil menggoyang-goyang tubuhku yang masih terbalut selimut.

Suaranya nyaring. Sangat mengganggu telingaku. Menusuk-nusuk ke gendang telinga.

Aku terpaksa menahan mataku yang masih layu untuk membuka. Rasanya aku berputar-putar, pandanganku mengabur.

Tak lama, aku meraih kacamata minusku yang tergeletak di samping bantal. Kupakai cepat supaya aku bisa melihat kembali normal.

“Jam berapa sekarang, kak? “


“Jam tujuh, mestinya kamu bangun dari tadi. Katanya kamu ada kegiatan sosial hari ini bersama teman-teman organisasimu itu kan? “ Cerocosnya sambil menyibakan selimut di tubuhku.

Tubuhku yang masih lemas ini akan terasa semangat lagi jika beberapa gayung air mengguyur ubun-ubunku hingga memercik ke setiap bagian tubuhku.

Aku menghabiskan satu jam untuk mandi dan merapikan kamar. Kaus biru laut dan celana jeans hitam membalut penampilanku hari ini.

“De, jangan lupa makan dulu nasi gorengnya. Kakak sudah siapkan di meja depan. ”

“Iya kak, tapi aku lupa mau bilang kalau sekarang aku harus segera melunasi uang semester bulan ini. Aku malu, setiap kali ke kampus pasti ada saja orang yang selalu menanyakanku kak “ Kilahku.

Aku lihat muka kakak mulai melipat, itu tandanya dia bingung!

Aku menghela nafas.

Ada banyak duri yang melemahkan otot-ototnya, dia mengatup mulut. Tak ada sepatah kata pun yang keluar. Dia bagai pagar yang rapuh, hampir terjungkal dengan sedikit tiupan topan.

Tanpa diungkapkan pun, aku sudah tahu jawabannya setiap kali aku membicarakan hal ini. “Maafin kakak, belum bisa sekarang ya ‘de… “ Kata-kata seperti itu yang pasti akan keluar dari mulutnya.

Aku langsung menghambur keluar tanpa kuhiraukan lagi sepiring nasi goreng itu.

Dia masih mematung, melongo saat aku sudah jauh ke ujung jalan sana tanpa berpamitan.

Aku sudah terbiasa jalan kaki menuju sebuah kampus universitas swasta, jaraknya sekitar lima kilo dari rumahku. Aku beruntung di kota kecil ini masih ada sekolah-sekolah tinggi bagi mereka yang enggan kuliah di luar kota yang terbilang mahal dan elit. Tapi masih saja kakakku keteteran membiayai kuliahku padahal universitas mematok biaya yang cukup terjangkau.

Tak tahu kenapa aku selalu merasa tak tega bila kakakku bersusah payah berjualan sayuran di pasar kelontong sana hanya untuk membuatku kelak bisa hidup mandiri selepas merampungkan kuliahku.

Kadang peluh membanjirinya, berpanas-panas di bawah teriknya sinar matahari. Berteriak-teriak menawarkan bermacam-macam sayuran, membungkuskan sayuran yang dipilih pembeli. Bertransaksi jual beli hingga matahari bertandang di katulistiwa.

Sudah genap empat tahun kami hidup tanpa ada belaian kedua orang tua. Semenjak ibu dan bapak meninggal karena kecelakaan kereta api yang hendak mengunjungi saudara di kota Jakarta, semua beban tanggung jawab dipindah alihkan pada kakak.

“Sari, maafkan kami, ibu dan bapak tidak bisa lagi mengurus kalian jika Allah berkehendak lain untuk berpulang kepadaNya… “ Kata-kata itu masih terngiang di telinganya. Dia menangis sejadi-jadinya saat tak ada lagi nyawa di tubuh kedua orang tuanya. Dan aku hanya mematung di depan kedua tubuh kaku itu, tak ada keberanian untuk memeluknya. Tangisku tertahan hanya menjadi gemuruh hebat. Dadaku terasa sesak.

Aku tak bisa menangis, itu satu-satunya yang sulit aku lakukan!

***

Akhir akhir ini dagangannya sepi, sayuran yang masih menumpuk kadang dibagikan ke tetangga karena tak laku. Sebagian dimasak sendiri untuk sekedar penambah nasi.

Makanya setiap kali aku bercerita soal pembayaran rutin ke kampus, aku hanya dapat kata-kata maaf yang berulang-ulang menyisakan sekelumit kesal. Lama-lama kalau begini terus bisa-bisa gunung meletus memuntahkan api-api kekesalanku.

Sedikit-sedikit aku meluangkan waktu untuk menulis kisah-kisah fiktifku, beberapa novel aku selesaikan dalam sebulan. Aku coba kirim naskahku ke salah satu penerbit buku. Mudah saja aku mengirimkannya, hanya sekali klik tombol kirim di compose emailku. Naskahnya sudah berpindah ke email salah satu redaksi penerbit buku. Uang jajanku sebagian terpakai untuk bolak-balik ke warnet. Terpaksa, awalnya memang aku harus bermodal. Menginvestasikan untuk naskah-naskahku itu.

Hasil dari usahaku menulis sedikt-sedikit meringankan biaya kuliahku, walaupun semua naskahku hanya beberapa yang diterima penerbit.

“Kak, tak usah khawatir soal uang semester bulan ini. Aku sudah membicarakannya pada pengurus administrasi untuk menangguhkannya bulan depan. Mereka bisa mengerti kok…“ Ujarku selepas sholat maghrib.

Lampu lima watt menerangi ruang tamu, tempat aku dan dia bercerita soal keluhku saat berada di kampus.

“ Alhamdulillah ‘de, kakak merasa lega mendengarnya. Insya Allah kakak akan bayar semuanya bulan depan.“ Matanya terlihat berbinar. Senyumnya merekah, tak ada beban berat di pundaknya.

Aku melempar senyum.

Aku belum yakin apa yang kakak ucapkan. Aku merasa kakak tidak akan menepati janjinya. Dengan melihat keadaan dagangannya sekarang ini sepi terus membuatku gamang.

Tapi aku tak bisa apa-apa, hasilku dari menulis tak ada lagi. Sudah beberapa bulan ini inspirasiku hilang untuk ditumpahkan menjadi kisah yang bergejolak ataupun soal cinta di antara manusia.

Malam ini, tidurku gelisah. Peluhku membanjiri tidur yang tak nyaman ini. Mataku sulit memejam. Seakan gelap menelanku ke ruang-ruang temaram yang pengap.

***

Jilbab putih menambah teduh rona putihnya. Dia bersiap-siap akan pergi berkunjung ke salah satu rumah uwa di bandung, tepatnya di jalan Setiabudi nomor sepuluh.

“ De, ayo cepat. Kakak tidak mau kesorean ke sana. Kakak tunggu di depan…“ Teriaknya yang membuat kupingku berkembang merah.

Aku merapikan kemeja sambil bercermin menatap bentuk wajahku yang tirus, menurut kakak aku anak laki-laki paling cakep walaupun agak sedikit mengganggu dengan kacamata minusku.

Kebetulan hari ini hari minggu dan aku tak ada kegiatan di kampus. Ini kesempatan kami berkunjung semenjak selesai empat puluh hari tahlilan kedua orang tuaku.

“Kak, sudah siap kita berangkat? Pintu belakang dan semua jendela sudah aku kunci…“ Aku memberikan kunci pada kakak setelah pintu depan kukunci. Kunci rumah selalu kakak yang pegang, aku takut kalau aku yang pegang nantinya hilang.

Kami menyetop angkot di ujung jalan. Aku menyarankan kakak sebaiknya ke terminal dulu. Memudahkan mencari mobil colt.

Udara sejuk menerpaku di dalam angkot, pagi ini matahari belum beranjak dari peraduannya. Sehingga udara masih terasa segar, membuatku dan kakak terasa cepat tiba di terminal.

Beberapa lembar ribuan telah berpindah ke sopir. Pandanganku segera mencari-cari ke arah colt jurusan bandung, kakak mengikut di belakangku. Colt jurusan bandung masih diam di sana. Kami segera memburu, menaikinya. Suara mesin menderu-deru membuatkan getaran kecil pada setiap penumpang yang duduk.

Angin semilir bercampur bau khas colt mengiringku dalam perjalanan. Aku bisa memandang deretan rumah serta pepohonan hijau dari balik jendela kaca, angin mengencang menerpa helai-helai rambutku, melambai-lambai.

Lama aku berada dalam colt bersama kakak di sampingku, hingga membuat kami terlelap berat. Tak sadar aku sudah berada di alam mimpi.

***

“Tidak …! Tidak mungkin …“ Teriakanku membahana. Melolong perih di kamar mungil dan sumpek ini.

Suster menyodorkan sebuah dokumen, saat kubaca kontras membuatku tersentak. Bibirku mengatup rapat. Dadaku terasa sesak. Aku divonis lumpuh dan kakakku tak bisa diselamatkan.

Air mataku berderaian membentuk kristal-kristal kecil. Luluh sudah harapanku bersama kakak, retak seperti cermin yang terjatuh dari kepalan tangan. Tapi aku tak sempat meninju cermin di hadapanku, hanya melempar dengan ganas dokumen itu ke ujung teras. Berserakan.

Aku terkulai lemah di bibir ranjang. Menanti harapan tak pasti. Kecelakaan sial, bangsat! Rutukku geram sambil memandang senja di luar sana.

---

Untuk kenanganku di Subang 29 Juni 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kunjungi selalu http://dindingmenulisonline-getaufan.blogspot.com