Rabu, 14 Oktober 2009

Catatanku ke-2


Hari itu aku telah melihat semuanya, hari yang tidak akan mudah untuk dibuang dari otakku. Sekarang tidak ada lagi siulan burung-burung yang bertengger di dahan dekat rumahku, tidak ada lagi derikan serangga-serangga yang selalu membuat betah telinga untuk terus mendengar.

Biasanya di kala senja aku asyik melihat anak lelakiku bermain kelereng dengan sekumpulan anak seusianya, saat itu dia masih berumur 6 tahun. Di kala anakku sedang bermain, aku tak jenuh memandanginya sambil menghirup udara sejuk yang menyentuh setiap rentangan tubuhku. Walaupun duduk di atas dipan bambu, aku tetap nyaman dengan ditemani rebusan singkong buatan istriku. Sore-sore begini ia akan menghabiskan waktunya di dapur, menyiapkan pangan yang dimasak beserta lauk pauknya.

Aba, aku kalah. aku ingin main lagi tapi kelerengnya habis…”



“Tak apalah buyung, nanti aba belikan lagi.”

Aku terhenyak, anakku merengek-rengek, menutup kedua matanya, menuju ke arahku. Buliran kecil mengalir dari pelipis matanya. Sementara anak-anak yang lainnya tetap melanjutkan permainan kelerengnya tanpa ikut serta anakku.

Dalam hati aku tersenyum, tingkah anakku itu selalu membuat aku tersenyum. Dengan pelukanku, anakku akan berhenti dari tangisnya. Ia melingkarkan tangannya, mendekap erat tubuhku. Matanya berkaca-kaca dan memerah.

“Tak usah menangis lagi, nanti air mata waang bisa kering,” gurauku.

“Apa benar aba? Kalau begitu, ambo tidak akan menangis lagi!” Jawabnya polos. Senyumku merekah. Hembusan angin menemaniku di dipan bambu bersama anakku sore ini.




***


Notes :
*Aba = Ayah,*Buyung = Nak,*Waang = Kamu,*Ambo = Aku

1 komentar:

  1. nggak tahu mo ngelink di mana. di sini aja dulu ya..
    nanti kalao udah selesai karyaku aku kirim ke sini

    BalasHapus

kunjungi selalu http://dindingmenulisonline-getaufan.blogspot.com